Dari manakah dulmuluk berasal? Ada beberapa versi tentang sejarah teater tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering disebut- sebut, teater ini bermula dari syair Raja Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di Riau.
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu,” kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
Pada masa akhir pemerintahan orde baru di desa baturaja kecamatan rambang dangku pertunjukan dulmuluk sempat dihidupkan lagi, semua perlengkapan disediakan golkar sebagai sponsor tunggal, tentu saja pakaiannya ditambah gambar pohon beringin.
Walaupun rata-rata pemainnya adalah orang tua, hampir setiap malam ada latihan dulmuluk yang memang sudah jarang mereka mainkan, ketika dulmuluk masih berjaya hampir setiap ada pesta pernikahan di sekitar kecamatan rambang dangku kelompok dulmuluk desa baturaja selalu di tanggap semalam suntuk, namun sekarang belum ada yang berusaha menghidupkan kembali seni teater tradisional tersebut sejak tumbangnya pemerintahan orde baru
Penyair dan anggota Asosiasi Tradisi Lisan Sumatera Selatan, Anwar Putra Bayu, di Palembang, mengungkapkan, salah satu syair Raja Ali Haji diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk Palembang.
Seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun. Agar lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang, ditambah iringan musik.
Pertunjukan itu mulai dikenal sebagai dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang dipentaskan dengan panggung. Saat itu dulmuluk
Grup teater kemudian bermunculan dan dulmuluk tumbuh dan digemari masyarakat. ”Dulmuluk menarik karena menampilkan teater yang lengkap. Ada lakon, syair, lagu-lagu Melayu, dan lawakan. Lawakan, yang biasa disebut khadam, sering mengangkat dan menertawakan ironi kehidupan sehari- hari masyarakat saat itu,” kata Anwar Putra Bayu.
Ketua Umum Himpunan Teater Tradisional Sumsel Muhsin Fajri menilai, pementasan dulmuluk selalu ditunggu masyarakat karena akting di panggung dibawakan secara spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
Perjalanan dulmuluk mulai surut sejak tahun 1990-an, ketika alternatif hiburan semakin banyak, terutama melalui televisi dan film layar lebar. Teater tradisi itu semakin merosot setelah orang yang menggelar hajatan lebih memilih pertunjukan organ tunggal. Akhirnya, dulmuluk seperti kehabisan energi, kehilangan pamor, dan tidak mampu bangkit lagi.
Pada masa akhir pemerintahan orde baru di desa baturaja kecamatan rambang dangku pertunjukan dulmuluk sempat dihidupkan lagi, semua perlengkapan disediakan golkar sebagai sponsor tunggal, tentu saja pakaiannya ditambah gambar pohon beringin.
Walaupun rata-rata pemainnya adalah orang tua, hampir setiap malam ada latihan dulmuluk yang memang sudah jarang mereka mainkan, ketika dulmuluk masih berjaya hampir setiap ada pesta pernikahan di sekitar kecamatan rambang dangku kelompok dulmuluk desa baturaja selalu di tanggap semalam suntuk, namun sekarang belum ada yang berusaha menghidupkan kembali seni teater tradisional tersebut sejak tumbangnya pemerintahan orde baru
Library : Bermula dari Syair Raja Ali Haji, kompas 03 Maret 2006
No comments:
Post a Comment