Showing posts with label Bahasa. Show all posts
Showing posts with label Bahasa. Show all posts

22 September 2008

Tidak Ada Tambal Ban di Jalan ke Tanah Abang

Salah satu akses menuju komplek Candi Bumi Ayu adalah melalui jalan yang mengikuti aliran sungai lematang, tepatnya di wilayah lematang ilir. Kalau dari jembatan yang menyeberang sungai lematang di Teluk Lubuk, tinggal mengikuti jalan menuju ke hilir maka Komplek Candi tersebut dapat ditemukan diperbatasan kecamatan Rambang Dangku dan Kecamatan Tanah Abang(Tenabang).


Walaupun jalan Teluk Lubuk menuju Tanah Abang tersebut baru saja diperbaiki dan diperlebar, jangan harap akan menemukan ban bekas yang bertuliskan “Tambal Ban” yang digantung di sepanjang jalan seperti yang biasa ditemukan di jalur Pantura atau di jalur lainnya di pulau jawa.

Lalu apa yang harus dilakukan seandainya dalam perjalanan disana pecah ban atau sekedar tambah angin. caranya gampang, tinggal cari bangunan yang dilengkapi dengan kompresor angin, jejeran ban bekas dan biasanya ada spanduk merek oli, atau kalau masih kesulitan menemukannya tinggal tanya pada penduduk setempat “dimana tempat nampal ban”.


Ya. Tampal Ban, begitulah penduduk setempat menuliskannya dan itu bukan salah tulis tapi memang mengucapkannya juga tampal ban, kalau menjadi kata kerja menjadi nampal ban(menambal ban). Bahkan saya pernah membaca edaran resmi dari pejabat setempat yang menuliskan tertib menjadi tertip, sehingga Kamtibmas menjadi Kamtipmas atau ketertiban menjadi ketertipan.


Lucunya, ketika pertama kali merantau ke pulau jawa, saya malah menyalahkan para tukang tambal ban yang kebanyakan dari etnik batak yang salah menulis Tambal Ban, karena sepengatahuan saya yang benar ya Tampal Ban itu.


14 April 2008

Ikan Sepat Laut Hidup di Sungai

Ketika bulan purnama tiba, guratan guratan dibulan seperti membentuk gambar, menurut orang orang tua dulu gambar tersebut adalah seorang nenek yang sedang memancing ikan sepat, kalau sampai ikan sepat tersebut memakan umpan dan kena pancing maka akan terjadi kiamat. Tentu saja cerita tersebut cuma dongeng, namun fakta bahwa ikan sepat memang jarang kena pancing adalah benar.

Bagi masyarakat Rambang Dangku ikan sepat ada dua jenis, ikan sepat bermata merah yang biasanya disebut sepat mate abang atau disebut juga sepat pinggir, sedangkan sepat yang lebih besar disebut sepat siam, saya tidak tahu apakah benar benar dari negeri siam(Thailand) atau hanya sekedar nama seperti nangke belande(sirsak), jambu Bangkok ataupun petai cine.

Suatu hari saya mendengar percakapan teman saya dengan pegawai pertamina (atau kontraktornya, tidak ada bedanya) dengan bahasa Indonesia seadanya saat mereka sedang mancing di pinggir sungai lematang, yang menarik perhatian saya adalah ketika dia mem-bahasa Indonesia-kan nama sepat siam menjadi sepat laut, bagi orang yang mengerti bahasa daerah sekitar mungkin bisa menangkap maksudnya, tapi bagi orang jawa mungkin timbul pertanyaan “sepat laut kok hidupnya di sungai”.

Masyarakat setempat mengartikan laut sebagai bagian tengah dari sungai dan sebagai antonimnya adalah pinggir yaitu bagian tepi sungai yang berbatasan dengan daratan, sehingga ketika teman saya tersebut bercerita tentang sepat dan dia bisa mem-bahasa Indonesia-kan sepat mate abang menjadi sepat mata merah atau sepat pinggir namun dia bingung mengartikan sepat siam sehingga memakai lawan kata pinggir menjadi laut sehingga sepat siam menjadi sepat laut.

18 January 2008

Batak keluar

Sebelum berhasil di Jakarta, Bonaga anaknya Naga Bonar pernah merantau di bumi besemah, namun walaupun anak seorang jenderal menghadapi orang besemah membuat Bonaga menjaga sikap.

Pertama kali Bonaga datang di terminal Prabumulih, mencari taksi jurusan Lahat seperti yang diterangkan dalam surat pamannya, namun Bonaga tidak menemukan mobil sedan yang ada hanya angkutan umum biasa, tak mau menunggu Bonaga langsung naik bis yang sudah agak penuh.

”batak ke pucuk!”,

teriak kondekturnya sambil menunjuk ke atas, akhirnya Bonaga naik keatap bis membawa tas besarnya.

Tak berapa lama, bis berhenti untuk menurunkan penumpang.

”batak ke dalam!”,

teriak kondekturnya lagi, Bonaga pun turun dan masuk kedalam bis.

Ketika ada penumpang baru datang, kondektur itu berteriak kepada temannya

”batak ke dalam!”,

mendengar teriakan itu Bonaga yang merasa sudah didalam cuma diam sambil berkata dalam hati

”dasar tukang perintah, apa dia tidak melihat saya sudah di dalam dari tadi”

Sesaat kemudian bis berhenti lagi untuk menurunkan penumpang, kodekturnya kembali berteriak

”batak keluar!”,

Bonaga sebagai orang batak merasa dilecehkan, dia pun menghampiri kondektur tersebut dengan marah-marah

”yang benar saja, bang!, kau suruh aku ke atas aku turuti, kau suruh aku kedalam aku turuti, sekarang masak kau suruh aku keluar sedangkan aku belum sampai”

”siapa yang nyuruh-nyuruh, saya cuma nyuruh teman saya bawa barang, tadi saya nyuruh teman saya bawa barang bapak itu keluar, karena dia berhenti disini”, jawab kondektur tersebut

*taksi=angkutan umum
**batak=bawa(lahat dsk)

22 December 2007

Jeruk Kecut

Mang Toha adalah seorang pedagang buah yang sehari-hari mangkal di depan sebuah toko di jalan Sudirman kota prabumulih, suatu hari datang seorang calon pembeli yang turun dari mobil dan pakai seragam karyawan PT. TEL.

”mau beli apa pak?” sapa mang Toha ramah.

”mau beli jeruk, berapaan sekilonya?” jawab pembeli sambil balik nanya.

”murah pak, cuma tujuh ribu sekilo, bapak mau berapa kilo?” sahut mang Toha sambil mengeluarkan kantong asoi(kresek) dari saku celananya.

”tiga kilo aja mang,!” jawab si pembeli.

Dengan gesit mang Toha pun mulai membantu pembeli memilih jeruk sambil menyiapkan dacing, setelah dirasa cukup kemudian ditimbang.

Selagi mang Toha menimbang, si pembeli iseng nanya
”jeruknya kecut nggak mang?”

Tak disangka, mang Toha dengan emosi yang meledak membentak pembeli
”raih(muka) kau kecut..!, kamu lihat sendiri dan kamu yang pilih sendiri, jeruk segar begini kau bilang kecut...ha!!”

Setelah itu mang Toha mengeluarkan jeruk yang sudah di dalam kantong asoi.
Si pembeli yang ternyata orang sunda ini bengong, sambil melangkah pergi(tanpa jeruk tentunya) dia bergumam
”apanya yang salah..!??”

*kecut=asem(sunda), keriput/ tidak segar(prabumulih dsk)
*dacing=timbangan
-------------------------
dikirim oleh Abu Bakrin via SMS, alumnus SMP gerinam angk.1990-1993(namun tidak terlibat kasus ngerawan), bapak dari Naila ini sedang menyelesaikan S1 dan bekerja pada instansi pemerintah di prabumulih.

04 December 2007

Ikan Mudik sampai Langsatan

Menyambung artikel Musim Bekarang yang menyebutkan kegiatan mencari ikan pada waktu musim kemarau, berbeda saat musim penghujan kegiatan mencari ikan lebih bersifat individu karena hampir di setiap tempat ada ikannya, seperti di sawah, lematang putus, batangari dan lebung.

Pada saat banjir mulai datang, ditandai dengan banyaknya dijumpai tai belande(buih berwarna coklat) mengapung terbawa arus sungai lematang yang sangat deras, ibu-ibu mulai menyiapkan tangkul untuk menangkap ikan mudik, istilah tersebut yang pasti bukan ikan yang ingin berlebaran ke kampung asalnya, melainkan karena ikan-ikan tersebut hanya ada saat menjelang banjir dan berusaha berenang ke hulu(mudik).

Ikan mudik bukanlah nama satu jenis ikan tetapi kumpulan berbagai jenis ikan berukuran kecil, seperti langli, langkecobang, yang ukurannya tidak lebih besar dari touge(kecambah), saking kecilnya dalam memasaknya tidak perlu dikeluarkan isi perutnya, cukup digoreng dengan tepung seperti bakwan.

Begitupun petani, berangkat ke sawah tidak lupa membawa bubuh(perangkap ikan dari dari bambu), bagian berlobang yang semakin menciut didalam ditempatkan dibagian hilir dari aliran air supaya ikan yang berenang ke hulu masuk dalam perangkap.

Yang paling menyenangkan saat luapan sungai lematang sampai ke gorong-gorong di depan sawah milik yai(kakek), karena yai sudah menyiapkan langsatan yaitu perangkap ikan yang ditempatkan pada aliran air yang deras yang bentuknya hampir menyerupai gorong-gorong itu sendiri hanya saja tidak ada bagian atas dan terbuat dari bambu yang bagian lantainya dibuat menanjak ke ujung.

Saya bersama sepupu yang lain bergantian menunggu ikan yang tertangkap langsatan, seperti yang pernah saya ceritakan dalam Musim Bekarang, yai punya peraturan kalau dapat ikan yang besar harus dimasukan korongan(kurungan ikan) yai, selebihnya silahkan dibagi.

Langsatan yang dipasang pada batangari ukurannya lebih besar lagi, karena membutuhkan biaya besar biasanya diusahakan secara patungan, karena hasil yang didapat pun fantastis.

Namun karena cara kerjanya yang memanfaatkan arus yang deras, langsatan tidak akan mendapat hasil kalau air(banjir) naiknya perlahan karena arus yang ditimbulkan tidak terlalu deras, artinya kerugian bagi pengusaha langsatan besar.

01 December 2007

Menanggapi Komentar via SMS

Karena keterbatasan internet mobile, pengisian komentar tidak melalui blogger tapi melalui SMS, berikut ini komentar dari Abu Naila Bakrin:
  1. Kalau menurut saya banyak bahasa dusun baturaja yang dipakai tidak eksis, misalnya penakuk balam seharusnya penabah balam.
  2. Dalam cerita Dayang Rindu (DR) ada yang tidak sinkron antara sumpah DR yang menikah dengan bujang banuayu dengan fakta Fajri bujang baturaja yang beristrikan gadis banuayu.
  3. Sebutan jeme rambang seharusnya uhang rambang karena jeme adalah bahasa lubai atau pagaralam dan sekitarnya.

Karena comment dari blogger tidak tampil di layar HP, maka saya tanggapi melalui posting, supaya bisa dibaca melalui internet mobile :

  1. penabah balam sebenarnya kata bentukan dari nakuk balam yang disingkat menjadi naba yang hanya digunakan di baturaja, saya juga tidak menggunakan kata mantang yang dipakai di siku sampai tanahabang.
  2. kalau dibaca lagi sumpah DR berlaku dua arah, bisa bujang baturaja dengan gadis banuayu atau gadis baturaja dengan bujang banuayu, sebenarnya Fajri bukan orang pertama yang mementahkan sumpah DR, ibu saya menceritakan kisah DR sambil mencontohkan keluarga Darno yang mempunyai anak perempuan walaupun istrinya dari banuayu, menurut sebagian orang sumpah DR pupus setelah melewati beberapa generasi.
  3. untuk bahasa rambang memang Bakrin lebih jago dari saya, tapi saya akan lebih senang lagi kalau yang mengomentarinya dari jeme eeh..uhang rambang sendiri.

Bakrin juga berjanji akan mengirimkan beberapa cerita atau humor, kita tunggu saja ceritanya tapi supaya diingat bahasa yang digunakan tetap bahasa indonesia, karena pembacanya belum tentu mengerti bahasa kita

15 November 2007

Bahasa di Rambang Dangku

Sebelum adanya pemekaran wilayah, Kabupaten Muara Enim masih tergabung dalam kabupaten LIOT (Lematang Ilir Ogan Tengah) dengan Lahat dan Prabumulih. Terdapat tiga kecamatan rambang, yaitu Rambang Kapak Tengah, Rambang Lubai dan Rambang Dangku, dalam perkembangannya Rambang Kapak Tengah masuk dalam wilayah kota Prabumulih dan Rambang Lubai menjadi dua kecamatan yaitu Rambang dan Lubai namun tetap dalam wilayah kabupaten Muara Enim.

Wilayah Rambang Dangku memanjang dari utara ke selatan, wilayah utara dulunya termasuk wilayah marga Dangku yang dilalui sungai Lematang sehingga disebut urang lematang atau urang ayek sedangkan bagian selatan dilalui sungai Rambang sehingga disebut jeme rambang atau jeme darat.

Walaupun secara geografis berdekatan namun secara bahasa banyak perbedaan disebabkan dulunya mereka masih mengandalkan sungai sebagai sarana transportasi utama sehingga interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi antar wilayah dalam satu aliran sungai, misalnya masyarakat lematang ilir dalam mengucap huruf R cenderung jelas dan huruf A di akhir kata dari bahasa indonesia dalam pengucapan seperti E dalam logat Melayu(malaysia) berbeda dengan sebagian masyarakat rambang dalam pengucapan huruf R seperti H dan bagi masyarakat beruge(benuang) talang ubi huruf A diakhir kata pengucapannya seperti E dalam cetek, kelek.

Contoh lainnya :
Indonesia Rambang Lematang ilir
orang uhang, jeme urang
kamu Kape-dengan dengan
cinta hibang ribang
bawa batak bawe
lihat kinah kinak
dekat cendak parak
rasa hase rase
peluang lukak lokak
jalan-jalan midang, behayau medang, berayau
karet para balam
kita kite tubo
enak lemak ilok
berkelahi begelut belage

12 November 2007

Boten Ngertos

Yanti baru menyelesaikan SD di Muara Enim, diajak bapaknya berlibur ke Kalisube Banyumas, desa kelahiran Bapaknya, ditemani buliknya, yanti diajak nyekar ke kuburan mbahnya.
Karena baru pertama kali ke jawa, banyak pertanyaan terlontar dari mulutnya

“weeii..! rumah itu besar sekali, bagus lagi. Bulik tahu nggak punya siapa ?” tanya yanti penasaran.

“boten ngertos.” jawab buliknya yang memang tidak mengerti bahasa indonesia.

“ooh!!”
“mobil itu punya boten ngertos juga, ya ?” tanya yanti lagi.

“ya!” jawab bulik sekenanya.

Sebelum sampai ke kuburan mbahnya, mereka melewati banyak kuburan lainnya.

“bulik, itu kuburan yang tidak terurus itu punya siapa ?”

“boten ngertos.” Sahut buliknya sambil membuka bungkusan kembang.

“kasihan sekali pak boten ngertos, saat hidupnya kaya raya tapi kuburannya tidak ada yang merawat” gumam Yanti dalam hati

*boten ngertos(banyumas dsk) = tidak tahu

08 November 2007

Beruk dan Kura kura

Suatu hari Kura kura berlomba menanam pisang dengan Beruk, tapi Kura kura menyuruh Beruk untuk menanam jantung pisang supaya cepat berbuah, bujuk Kura kura.
Sedangkan Kura kura menanam tunasnya, tentu saja jantung pisang yang di tanam Beruk lama kelamaan menjadi busuk, sedangkan tunas pisang yang di tanam Kura kura tumbuh menjadi pohon pisang.

Merasa dipermainkan kemudian Beruk mencari Kura kura, mendengar Beruk marah Kura kura kemudian sembunyi di dalam lubang lesung. Setelah lelah mencari, Beruk duduk di atas lesung sambil mencari cara agar dapat menangkap Kura kura.

“ Kura kura, dimana kamu?......” panggil Beruk kebingungan

“ uuutt……” jawab Kura kura dari balik lesung

Demikian berulang ulang, setiap di panggil oleh Beruk, selalu dijawab Kura kura dari balik lesung tempat Beruk duduk berjongkok, sehingga dia menyangka yang menjawab panggilannya adalah ‘burung’nya sendiri, karena marah dan kesal akhirnya dipukullah ‘burung’ sendiri sampai Beruk mati.

Sepeninggal Beruk, Kura kura mengambil biji ‘burung’ Beruk dan menjualnya sebagai obat, ketika obatnya terjual dan pembelinya tidak merasakan khasiat yang dijanjikan Kura kura, Kura kura ditangkap dengan tuduhan penipuan.

Saat akan dihukum bakar, Kura kura berkata :
“ lihat saja kulit saya, hitam dan gosong karena pernah dibakar tapi saya tidak mati “

“ kalau begitu, potong saja.! “ usul yang lain.

“ lihat lagi, kulit saya retak retak karena pernah dipotong…”

“ buang ke sungai, biar dia mati tenggelam “

“ jangaaan.., ampuun… “ teriak Kura kura pura pura takut.

Tanpa pikir panjang akhirnya Kura kura langsung dilempar ke sungai, padahal Kura kura adalah binatang amfibi, selain bisa berjalan di daratan juga bisa berenang di sungai.

Dongeng ini biasanya diceritakan Nenek kepada Cucu cucunya supaya mereka semangat memijit kulit neneknya yang keriput, mungkin tidak banyak pelajaran yang diambil dari dongeng tersebut, tapi yang pasti selain nenek tersebut bisa bugar setelah dipijit cucunya, dia juga bisa mengumpulkan cucunya, sehingga mereka menjadi akrab satu sama lain.

*uuut adalah jawaban kalau dipanggil seperti kata dalem bagi masyarakat jawa

08 October 2007

Seribu Ringgit

Aran yang baru pertama mengunjungi neneknya di Rambang Dangku sangat antusias menawar sebuah durian yang dijual di kalangan.

“derian besak ini berape regenye, jut ?..” tanya Aran pakai bahasa daerah setempat yang baru dipelajarinya beberapa hari dari alif sepupunya.

“seribu ringgit bae, cung..” jawab kajut (nenek) tersebut.

“nenek ini gaul juga, pakai mata uang malaysia segala, pasti maksudnya seribu rupiah nih, mumpung murah nggak usah ditawar”. pikir Aran dalam hati

“ya udeh jut, beli sikok!” setelah membayar uang seribu Aran beranjak membawa duriannya.

“tunggu, cung. duetnye kurang tengah due ribu” cegah kajut itu.

“tengah due ribu?...” Aran tambah bingung

Alif sepupunya yang baru datang mendengarkan penjelasan kajut penjual durian tersebut, kemudian menjelaskan kepada Aran , bahwa istilah ringgit bukan mata uang malaysia yang dia kenal tapi seperti gopek, cepek, noceng sebagai istilah pasar.

* seribu ringgit = Rp. 2.500 (1 ringgit=2.5)
* tengah due ribu = Rp. 1.500 (tengah due=1.5)