26 August 2008

Legenda Asal Mula Lomba Bidar

Lomba bidar adalah lomba mendayung perahu yang dinamai ‘bidar’. Seni dayung tradisional Palembang ini hidup sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Pada perayaan hari besar, terutama Hari Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus, lomba bidar dilangsungkan di Sungai Musi yang mengalir di tengah-tengah kota Palembang. Perahu bidar berbentuk khusus.

Bidar adalah singkatan dari biduk lancar. Sejenis biduk (perahu) yang zaman dahulu kala khusus digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk seorang. Akan tetapi, pada perlombaan sekarang, satu perahu didayung oleh belasan orang.

Menurut cerita, lomba bidar bermula dari peristiwa Putri Dayang Merindu. Seorang gadis cantik jelita tinggal di bagian hulu kota Palembang. Anak tunggal, ayahnya bernama Sah Denar, bersahabat dengan Tua Adil, teman sekampung keluarga kaya raya yang mempunyai anak pria bernama Dewa Jaya. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negeri lain untuk menuntut ilmu bela diri, terutama pencak silat.

Bertahun-tahun menuntut ilmu, ketika kembali dia sudah jadi pemuda remaja yang tampan. Ia sangat kagum dan jatuh cinta pada dayang merindu, yang sejak kecil menjadi teman bermainnya. Dewa Jaya minta agar orang tuanya melamar. Sah Denar dan istrinya senang mendengar hasrat melamar itu.

Ketika suami istri menanyai anak mereka, Dayang Merindu dengan lembut menjawab:
“Mohon ampunan pada Ayah dan Bunda. Belum tersirat rasa cinta di hati saya terhadapnya. Oleh karena itu, saya belum mau mengatakan bersedia jadi istrinya. Namun, jika Ayah dan Bunda memaksa, saya tidak akan durhaka pada orang tua.” Sah Denar dan istrinya berpendapat, mungkin karena Dayang Merindu baru berusia sembilan belas tahun, belum ada hasrat bercintaan dengan pemuda. Ketika keluarga Tua Adil datang melamar, mereka menerima lamaran itu dengan ikatan pertunangan.

Sementara itu, di sebuah kampung di hilir kota Palembang, ada seorang pemuda bernama Kemala Negara, anak keluarga petani di tepi Sungai Musi. Selama merantau mencari nafkah ke negeri lain, dia banyak belajar ilmu bela diri. Pada suatu hari, Kemala Negara sedang mandi bersama teman-temannya di Sungai Musi. Mereka melihat sebuah cawan tembaga kecil hanyut terapung dari hulu. Kemala Negara berenang ke tengah sungai mengambilnya.
“Biasanya cawan dan bunga serta minyak yang wangi seperti ini adalah bahan keramas cuci rambut wanita,” kata Kemala Negara. Temannya sependapat dan ada yang mengatakan, pastilah benda keramas itu milik wanita kaya raya, bangsawan.
“Benar. Apa gerangan sebabnya benda seanggun dan semahal ini bisa hanyut? Mungkin ada pria jahat yang mengganggu wanita yang sedang keramas itu. Kita harus berusaha mengembalikannya,” ujar Kemala Negara. Temannya berkata:
“Benar. Carilah siapa pemiliknya, Kemala! Mana tahu nasib baik, pemiliknya masih gadis dan cantik pula. Sepadan dengan kau.” Kemala Negara setuju pendapat temannya. Disimpannya cawan itu tanpa mengusik isinya. Hari itu juga, dia sendiri berperahu menghulu Sungai Musi.

Dua hari berperahu menghulu, terus bertanya, dan bersua dengan seorang gadis yang sedang mengambil air. Gadis itu tersenyum menjawab:
“Benar, Tuan Muda. Ini cawan keramas milik temanku. Dayang Merindu namanya. Tiga hari yang lalu kami mandi beramai-ramai. Dia keramas mencuci rambutnya. Diletakkannya cawan ini di rakit dan kami mandi bermain simbur-simburan. Dia sangat risau karena cawannya ini hanyut.”
“Terima kasih. Tolonglah Adik kembalikan padanya,” ujar Kemala Negara.
Gadis itu kagum meliht pemuda yang berwajah tampan di hadapannya. Dia berkata:
“Tuan Muda sendirilah yang mengembalikannya. Itu rumahnya di hulu situ. Pasti dia sangat berterima kasih.
“Ah, tolong kembalikanlah Dik. Saya khawatir nanti kalau-kalau dia mengira cawannya ini saya ambil begitu saja.”
“Tidak, Tuan Muda. Dayang Merindu itu gadis paling cantik jelita di seluruh kampung ini. Sangat rendah hati dan ramah. Tuan Muda sudah menemukan dan dua hari jauh-jauh dari hilir sana mengantarkannya ke sini.” Tapi karena Kemala Negara menolak untuk mengantarkan, gadis itu berkata:
“Baiklah. Sebentar lagi saya akan ke rumahnya. Kami akan mandi ramai-ramai petang ini. Nanti akan saya ceritakan semua kepadanya. Tuan Muda tunggu kami di tepi semak jalan ke tepian mandi. Serahkanlah langsung kepadanya.” Kemala Negara setuju. Ditambatkannya perahu di dekat belukar, dia menanti di jalan ke tepian mandi. Ketika dilihatnya gadis tadi datang bersama empat gadis, dapatlah dia menduga yang mana gerangan Dayang Merindu. Ketika saling pandang dari jarak yang masih agak jauh, pertama kali dalam hidupnya Dayang Merindu merasa darahnya bergetar, kagum melihat Kemala Negara membungkuk tnda hormat. Dayang Merindu langsung berujar:
“Temanku ini sudah menceritakan semua. Alangkah tingginya baik budi Tuan, telah menemukan dan sudi bersusah payah mengantarkan cawan itu.”
“Maaf Putri Jelita. Terimalah cawan ini. Saya bahagia karena telah dapat mengembalikannya,’ kata Kemala Negara. Dayang Merindu menyambut cawan itu. Masih saling memegang cawan, Dayang Merindu berujar:
“Dengar apa gerangan saya dapat membalas baik budi Tuan?”
Kemala Negara tak mampu berkata-kata. Darahnya gemuruh. Keduanya saling merasakan api cinta pertama bergelora di jiwa. Dayang Merindu sadar dan merasa malu pada teman-temannya. Ditariknya cawan itu. Namun, teman-temannya yang sudah maklum sengaja menjauh. Kemudian, berbincang-bincanglah kedua remaja yang saling jatuh cinta itu. Berkatalah Kemala Negara:
“Silahkan mandi. Teman-teman sudah menanti. Bolehkan kita bersua lagi?”
“Saya juga ingin berkata begitu. Dapatkah kita bersua lagi? Kami mandi dua kali sehari. Tunggulah di jalan ini.”

Tiga hari lamanya Kemala Negara berada di kampung itu. Enam kali mereka bersua dan berbincang. Ketika pulang ke kampungnya, Kemala Negara minta orangtuanya melamar Dayang Merindu. Akan tetapi, alangkah kecewanya mereka, ketika Sah Denar dan istrinya menolak lamaran, dengan alasan Dayang Merindu sudah dipertunangkan.
Kemala Negara sangat marah. Ditantangnya Dewa Jaya bertanding. Dewa Jaya tidak menolak. Keduanya menghadap Datuk kampung itu. Mereka menyatakan ingin bertanding. Siapa yang menang dialah yang berhak jadi suami Dayang Merindu.

Diumumkanlah ke seluruh kampung akan diadakan pertandingan. Seluruh penduduk pun berkumpul menyaksikan. Hanya Dayang Merindu yang tak mau keluar dari rumah. Dia sangat cemas kalau-akalu Kemala Negara kalah. Setengah hari penuh kedua pemuda itu bertanding pencak silat. Ternyata tak ada yang kalah. Oleh karena itu, Datuk memutuskan, pertandingan dialihkan pada lomba bidar. Siapa yang lebih dahulu mencapai garis finis, dialah yang menang.

Pada hari yang ditentukan, seluruh penduduk menyaksikan di tepi Sunagi Musi. Kedua pemuda itu mendapat sebuah perahu bidar yang kecil. Seluruh penduduk berdebar-debar menyaksikan karena ternyata kedua pemuda itu sama kuat dan sama cepat. Keduanya menggunakan tenaga dalam masing-masing. Ternyata keduanya mencapai garis finis pada saat yang bersamaan. Akan tetapi, seluruh penduduk menjdi cemas karena melihat kedua pemuda itu tertelungkup di perahu masing-masing. Ketika diperiksa, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.

Mendengar berita itu, Dayang Merindu meninggalkan rumahnya. Datang ke pendopo dimana kedua mayat pemuda itu dibaringkan. Dia berdiri menghadap sang Datuk yang duduk di kursi kehormatan dekat kedua mayat itu. Dengan hormat, gadis itu berkata:
“Saya dan Kemala Negara saling mencinta. Akan tetapi, saya tahu Dewa Jaya juga sangat mencintai saya. Cintanya direstui oleh orang tua saya. Sekarang keduanya sudah menjadi mayat. Saya ingin berlaku adil terhadap keduanya. Mohon agar Datuk belah menjadi dua tubuh saya ini. Yang sebelah mohon dikuburkan bersama Kemala Negara dan yang sebelah lagi dikuburkan bersama Dewa Jaya.” Hadirin dan Datuk terpana mendengar keputusan Dayang Merindu itu. Sebelum mereka sempat berkata dan berbuat sesuatu, tangan kanan Dayang Merindu yang sejak tadi memegang sebelah pisau yang diolesi dengan racun terayun cepat. Ujung pisau menusuk dadanya. Dia rebah dan tewas di tempat itu.

Menurut cerita, seluruh penduduk sangat menghormati dan menyanjung Dayang Merindu yang berani berlaku adil terhadap pemuda yang mencintainya. Jika mereka mengadakan acara untuk memperingati Dayang Merindu yang jadi idola seluruh penduduk, mereka mengadakan lomba bidar.

Cerita ini legenda belaka. Orang tak percaya itu pernah terjadi. Namun, di Palembang, tempat Dayang Merindu mandi berkeramas, sampai sekarang bernama Kampung Keramasan. Lomba bidar dikembangkan, sampai sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai seni tradisional dayung Palembang. Kisah Dayang Merindu masih terus hidup sampai sekarang. Kisah ini sering dipentaskan dengan tari, melambangkan kecantikan, kejujuran, penghormatan pada orang tua dan kemampuan bertindak adil terhadap orang yang telah berkorban jiwa karena mencintainya.

Pustaka : Rumah Baca Liana indonesia (http://liana-indonesia.blog.co.uk)


21 August 2008

Batu Kileng di Pantai Ulu

Menurut legenda, bentuk sungai Lematang yang berkelok-kelok seperti ular adalah ulah Serunting Sakti si Pahit Lidah. dulunya sungainya lurus, karena malu istrinya yang sedang buang hajat di muara terlihat olehnya yang sedang jauh di hulu, akhirnya dengan kesaktiannya diubahlah menjadi seperti sekarang.

Arus deras sungai Lematang pada saat banjir berperan paling besar dalam mengubah bentuk sungai, bahkan setiap tahun selalu terjadi pergeseran tanah dipinggir sungai, bagian ulak adalah bagian sungai yang pinggirnya berupa tebing tanah yang selalu runtuh terkena terjangan arus sungai sehingga tanahnya akan terus berkurang dan biasanya di seberangnya berupa tanah berpasir yang landai seperti pantai pada umumnya, bagian yang landai ini tanahnya akan selalu bertambah dari endapan lumpur yang dibawa banjir.

Sekitar tahun 80-an, pinggiran sungai lematang di desa Baturaja banyak berderet tangga yang digunakan untuk mandi maupun pangkalan tempat menambatkan perahu, karena bagian ulak masih di pertangahan desa, sedangkan pantainya terletak dibagian ulu(hulu) desa sehingga disebut pantai ulu, namun sekarang bagian ulaknya sudah jauh bergeser ke hilir desa dan pantainya juga tidak pantas lagi disebut pantai ulu karena sudah di pertengahan desa bahkan 5-10 tahun lagi akan menjadi pantai ilir.

Pantai ulu akan selalu ramai saat musim kemarau tiba, karena semua sumur penduduk kering sehingga acara mandi dilakukan di sungai, masa saya masih anak-anak ke pantai ulu bukanlah sekedar acara mandi tetapi yang lebih penting bermainnya, setelah kepanasan bermain pasir, lari masuk ke sungai, main pasir lagi.

Ada benda-benda aneh yang bisa ditemukan diantara tumpukan pasir salah satunya batu kileng, sulit dipercaya batu yang keras dan licin tersebut bisa dijadikan bahan bakar bakar apalagi batu tersebut dipercaya berasal dari fosil kayu berusia jutaan tahun, setelah dewasa saya mengetahui bahwa batu tersebut ternyata batu bara yang bisa dijadikan bahan bakar PLTU dan tak lama lagi batu kileng tersebut akan ditambang didesa kami.



Ulak Puyang Raje

Dahulu kala ketika buaya masih bebas berkeliaran di sungai lematang, tempat pemandian dipinggir sungai lematang diberi pagar agar tidak diserang buaya, namun ada saja korban yang diserang buaya, seperti kisah Pugok(kakek) Batul berikut ini.

Pugok Batul yang sedang memasang rawai yaitu seutas tali nylon yang dibentangkan menyeberangi sungai dan digantungi puluhan mata kail tiba-tiba diserang buaya raksasa dan ditelan hidup-hidup kemudian dibawa kekediamannya, ketika didalam perut buaya Pugok Batul teringat cebatok yang selalu dibawanya, dengan susah payah dibelahlah perut buaya tersebut, namun setelah keluar dari perut buaya ternyata dia sudah berada ditempat yang asing, seperti gua dalam air yang dipenuhi buaya.

Singkat cerita Pugok Batul selamat kembali kepermukaan sungai dengan badan penuh luka dan tanpa pakaian, orang-orang yang melihat berlarian ketakutan karena menyangka dia sudah meninggal setelah berhari-hari dinyatakan hilang disungai, walaupun sempat dirawat akhirnya Pugok Batul meninggal karena luka-luka bekas gigitan buaya disekujur tubuhnya.

Penduduk setempat menyebut tempat sarang buaya tersebut sebagai Ulak Puyang Raje, terletak di hilir desa Baturaja, ketika tempat tersebut rusak karena tanah di kawasan tersebut ambruk kebawah menyerupai kawah dipinggir sungai, lama-kelamaan semakin dangkal tertutup lumpur sungai lematang, bahkan tak jauh beda dengan danau yang terbentuk dari Lematang Putus yang akhirnya menjadi tempat berkebun penduduk sekitar.

* ulak = bagian sungai yang dalam, permukaan airnya membentuk pusaran
* puyang = orangtua dari kakek/nenek, leluhur(nenek moyang)
* cebatok = sejenis golok


20 August 2008

Geliat Pembangunan Kembali Berdenyut

Tanah kelahiranku desa Baturaja terletak di perlintasan dua jalan penting, dari barat ke timur adalah jalan yang mengikuti aliran sungai Lematang karena budaya masa lalu yang menjadikan sungai sebagai sarana transportasi utama, sedangkan dari utara ke selatan membentang jalan yang dibangun Pertamina yang dulunya menghubungkan Pendopo ke Prabumulih.

Jalan dari Teluk lubuk sampai Tanah Abang yang membentang dari barat ke timur melalui desa kelahiranku sedang dibenahi, saat ini lebarnya menjadi 8 meter walaupun belum di aspal karena pembangunannya masih berjalan hingga sekarang, pembangunan ini ternyata bukan hanya untuk mendukung Visit Musi 2008 yang menjadikan kawasan Candi Bumi Ayu yang ada di Tanah Abang(tenabang) sebagai salah satu tujuan wisata tetapi lebih dari itu, pembangunan ini terkait dengan rencana pengembangan energi batu bara dan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di beberapa daerah di Sumsel berbahan baku batu bara. Di antaranya, PLTU Bangko Tengah kapasitas 4x600 MW di Kecamatan Lawang Kidul dan Tanjung Agung, PLTU kapasitas 2x100 MW di Kecamatan Rambang Dangku, Muara Enim, dan PLTU Banjar Sari di Kecamatan Merapi, Lahat kapasitas 2x100 MW.

Bahkan jalan Pertamina yang mengarah ke utara yang dulunya hampir menjadi jalan setapak karena tumbuhan akar rambat yang tumbuh liar menutup badan jalan kini diperbaiki kembali, puluhan rumah yang dibangun dibahu jalan milik Pertamina sudah mendapat peringatan agar membongkar bangunan masing-masing. Semenjak ditinggal Pertamina yang dulunya sangat tergantung jalan tersebut untuk transportasi ke kota Prabumulih melalui Pangkalan Babat, jalan tersebut nyaris tidak pernah dilalui kendaraan berat. Apalagi keadaan debit air sungai Lematang yang berkurang membuat kapal ponton tidak bisa leluasa menyeberang. untuk mengantisipasi hal tersebut, direncanakan jembatan yang menyeberangi sungai Lematang tepat di hilir desa Baturaja.

Mang Tam yang ikut petugas peneliti batu bara punya cerita menarik, ketika petugas mengebor untuk mendapatkan sampel untuk diteliti ternyata yang ditemukan adalah minyak mentah dan gas, "betapa kayanya desa ini" ucap mereka dengan takjub, karena batu bara yang dicari ada dilapisan bawah setelah minyak dan gas tersebut. untuk menghindari bahaya, daerah yang diketahui mengandung minyak dan gas tidak dijadikan lokasi tambang batu bara namun akan ditambang setelah minyak dan gasnya habis.

Semoga saja penduduk lokal tidak lagi hanya menjadi penonton dari gegap gembitanya pembangunan, seperti yang terjadi puluhan tahun lalu, ketika Pertamina sedang gencar-gecarnya mengeruk kekayaan minyak dan gas bumi di desa mereka, kala itu seluruh tenaga kerja didatangkan dari luar sampai tukang masak dan tukan cuci pun bukan penduduk lokal, namun untuk minta ganti rugi karena terjadi blow out yang menyebabkan hujan minyak sehingga seluruh penduduk harus mengungsi ke luar desa dan dilarang menggunakan api, baru bisa dilakukan sepuluh tahun kemudian.

dari berbagai sumber

15 August 2008

Perbaikan Budidaya Karet

Yayasan Tambuhak Sinta (YTS), yayasan yang berkarya di Kec. Kahayan Hulu Utara, Kab. Gunung Mas, Palangka Raya, dengan didukung sepenuhnya oleh pemerintah setempat mencoba membantu dengan memfasilitasi masyarakat melakukan perbaikan-perbaikan teknik budidaya karet masyarakat menuju budidaya yang berkelanjutan.
Dengan perpaduan teknis modern dan kearifan lokal, diharapkan dapat peningkatan hasil yang lebih memuaskan, ramah lingkungan serta berkelanjutan. Dalam pendampingan tersebut dilakukan beberapa aktivitas, yaitu:

1. Perbaikan cara bercocok tanam
Kebiasaan masyarakat setempat setelah membuka lahan adalah m
enanam padi (padi gunung), yang langsung diikuti dengan penanaman karet atau setelah panen padi selesai di lahan yang sama. Setelah mengikuti pelatihan, masyarakat mulai memperbaiki cara pengelolaan lahannya yang diawali dengan pengaturan jarak tanam. Karet ditanam dengan jarak yang teratur seukuran 3x7, 4x6, atau 5x5 meter untuk lahan datar. Sedangkan, untuk lahan yang berbukit-bukit mereka menggunakan sistem kontur “A” untuk
menyesuaikan dengan kemiringan bukit sehingga mempermudah pemeliharaan karet dan penyadapan menjadi efektif dan efisien.

2. Penggunaan tanaman sela
Sementara menunggu tanaman karet menghasilkan, masyarakat membudidayakan tanaman sela seperti jenis kacang-kacangan, lombok, terong, semangka, dan lain sebagainya. Mereka juga tetap menanam padi pada musim tanam berikutnya. Musim tanam padi gunung adalah Oktober-Maret. Adanya tanaman sela secara tidak langsung turut membantu pemeliharaan karet karena tanaman sela memerlukan perawatan teratur, sepert
i pemupukan dan pembersihan gulma. Kegiatan ini dilakukan sampai lahan tidak mungkin lagi ditanami karena ternaungi tanaman karet yang sudah mulai rimbun. Dengan demikian, karet bebas dari gulma dan lahan tetap menghasilkan tanaman yang bermanfaat bagi kebutuhan mereka.

3. Perbaikan cara menyadap karet
Awalnya petani menyadap karet dari kiri atas ke kanan bawah dan dari kanan atas ke kiri bawah dengan menyebabkan 2 mata luka, atau menyadap dari kanan atas k
e kiri bawah (lihat foto ). Sering juga hasil torehan menimbulkan pelukaan sampai ke jaringan kayu, sehingga menimbulkan kerusakan bidang sadap.
Ini mengakibatkan masa panen yang seharusnya bisa mencapai 30 tahun menjadi hanya 5 tahun atau tidak berkelanjutan. Setelah memahami teori tentang pohon karet dan membandingkan hasilnya dengan kebiasaan menyadap sebelumnya, kini masyarakat menyadap karet dari kiri atas ke kanan bawah dengan seminim mungkin menimbulkan pelukaan sehingga akan menghemat bidang sadap. Hal ini diakui pula oleh Tondan (45 th), petani karet dari Desa Tumbang Manyoi. Menurutnya, teknik penyadapan yang benar seperti yang disampaikan oleh fasilitator dari YTS, menjadikan proses penyadapan lebih efektif dan menguntungkan.

4. Kearifan lokal dalam cara membekukan latex
Setelah melakukan perbandingan kebiasaan setempat membekukan latex menggunakan saing/umbi gadung (Dioscorea hispida Dennst) dengan tempat lain yang menggunakan tawas, masyarakat akhirnya memutuskan bahwa lebih baik menggunakan saing. Karena hasil pembekuannya ternyata lebih baik. Selain itu, bahannya berasal dari tumbuhan yang banyak hidup di daerah setempat, sehingga mudah didapat dan tidak memerlukan biaya.

5. Teknik okulasi sebagai salah satu cara meningkatkan produktivitas karet lokal.
Dari pengalamannya selama ini, para petani mengetahui bahwa di kebun karet mereka terdapat beberapa pohon karet yang memiliki latex yang cukup banyak, melebihi dari pohon-pohon yang lainnya. Oleh karenanya untuk meningkatkan produktivitas karet lokal, dilakukan pembudidayaan dengan mengambil mata entris dari dahan pohon karet tersebut untuk ditempelkan pada bibit karet yang telah disiapkan sebelumnya pada lahan pembibitan karet lokal. Lalu tanaman tersebut dipergunakan sebagai batang entris yang akan diambil mata entrisnya untuk ditempelkan pada bibit persemaian lokal selanjutnya. Dengan demikian diharapkan karet lokal yang bermutu tinggi akan cepat dihasilkan dan dibudidayakan masyarakat setempat secara luas. Sehingga terjadi kenaikan tingkat
produksi dan mutu karet, yang selanjutnya akan meningkatkan pendapatan petani.

Suwandi-Yayasan Tambuhak Sinta

13 August 2008

Mitologi Rambang Dangku

Manusia Harimau

Banyak kisah yang berkembang tentang adanya manusia harimau, di daerah Siku ada cerita dua orang saudara ipar sehabis berburu Napo beristirahat sejenak, sang kakak kemudian bercerita bahwa dia sebenarnya punya ilmu harimau, karena penasaran adiknya ingin melihat kakaknya merubah wujudnya menjadi harimau, untuk memenuhi permintaan adiknya, ia kemudian menggantung napo hasil buruan ke dahan pohon dan menyuruh adiknya naik ke atas pohon setinggi-tingginya kemudian berpesan kalau ingin dia berubah kembali jadi manusia tinggal panggil namanya.

Kakaknya kemudian mulai membaca mantera, perlahan-lahan terlihat perubahan terjadi pada kakaknya, ketika sudah berubah menjadi harimau, dalam keadaan lapar naluri binatangnya keluar, napo hasil buruan mereka langsung diterkamnya, adiknya ketakutan setengah mati diatas pohon tak ingat pesan kakaknya.
Sejak kejadian itu kakaknya yang sudah berubah wujud menjadi manusia mengantarkan adiknya pulang, kemudian dia pergi meninggalkan kampungnya.

Di desa Baturaja bercerita tentang manusia harimau tidak bisa lepas dari kisah Raden putra Alimimpar, bermula ketika Raden kecil kabur dari rumah karena dimarahi bapaknya, setelah lama tidak pulang sebagian penduduk setempat melihat seorang anak kecil yang badannya dipenuhi bulu, sehingga orang percaya kalau Raden sudah berubah menjadi manusia harimau.

Pernah ada kejadian ketika adiknya dipukul suaminya Daud, tiba-tiba dia diserang sesuatu yang tidak tampak, atau ada juga petani yang ke kebun/talang membawa ibat(sangu) ternyata habis secara misterius, masyarakat setempat percaya kalau itu perbuatan Raden yang menggunakan ilmu tak tampak.

Pada saat musim durian, kadang-kadang dia mendatangi orang yang menunggu durian jatuh untuk minta buah durian, karena memang dia sangat menyukai buah tersebut, orang tersebut hanya mempersilahkannya mengambil sendiri durian dibawah sudung, namun keesokan paginya orang tersebut tidak melihat jejak kaki manusia di tanah yang becek, yang ada hanya jejak kaki harimau.

Melburu

Gambaran Melburu menurut masyarakat Rambang Dangku adalah manusia berkepala anjing yang selalu membawa tongkat, siapapun yang berhasil merebut tongkat tersebut darinya, maka Melburu tersebut akan mengabulkan apapun permintaan orang yang merebut tongkatnya, asalkan tongkatnya dikembalikan.

Menurut riwayat orang dulu, Melburu sebenarnya seorang raja yang sangat sakti dan suka memamerkan kesaktiannya, yaitu kepalanya kalau dipotong akan menyatu kembali tanpa bekas sedikitpun, karena kesal dengan kelakuannya tersebut, saat kepalanya sedang dipotong ada yang menceburkan kepalanya kedalam sumur yang sangat dalam, kemudian menggantinya dengan kepala anjing.

Karena malu, akhirnya dia meninggalkan kerajaanya, dan selalu menghindar kalau bertemu manusia, sehingga hanya sedikit orang yang pernah melihat Melburu secara langsung, yang kadang terlihat di batangari dalam hutan sedang mencari siput.

Dugok

Hidup di dalam sungai, berwujud seperti kera dan mempunyai rambut panjang, rambut tersebut digunakannya sebagai senjata untuk menjerat mangsanya untuk dihisap darahnya, sebagian menganggap kalau naik kedaratan dia akan berubah wujud menjadi kuntilanak.

Tidak ada yang tahu pasti, apakah Dugok ini termasuk makhluk halus penunggu sungai atau hanya binatang air, namun masyarakat Rambang Dangku sangat percaya akan keberadaan Dugok


12 August 2008

Cerita Orang Orang Dahulu

Mat Aliudin
Ketika kerajaan palembang menghadapi ancaman musuh, raja(sunan) memanggil orang-orang sakti untuk minta bantuan, menghadaplah Mat Aliudin yang sedang bisulan kaki berjalan terpincang-pincang, melihat hal tersebut diusirlah dia dari istana karena tidak ada tampang sedikitpun kalau dia adalah orang sakti.

Ketika hendak pulang dia pergi ke sungai lematang membentangkan kain putih di permukaan air kemudian langsung duduk bersila diatas kain tersebut dalam keadaan terapung, menyaksikan keganjilan tersebut petugas istana langsung memanggilnya ketika melihat kain yang didudukinya mulai bergerak melawan arus.

Akhirnya desa tempat asal Mat Aliudin tersebut diberi nama Bantu Raja, karena dia berhasil membantu raja dengan kesaktiannya.

Ada juga yang berpendapat kata Bantu Raja didapat ketika ada kapal kerajaan yang sedang melewati sungai lematang yang sedang dangkal karena kemarau tersangkut, kemudian dibantu penduduk desa mendorong kapal tersebut.
Dalam perkembangannya desa Bantu Raja berubah menjadi Baturaja ketika jaman penjajahan Jepang.

Puyang Naneng
Ada cerita unik ketika pertama kali jepang datang ke marga Dangku, ketika di desa Kuripan(bagian hulu baturaja) mereka diberitahu desa Bantu Raja hanya berjalan ke hilir melewati hutan dipesisir sungai lematang, ternyata yang mereka temukan desa Dangku(bagian hilir baturaja), di Dangku mereka diberitahu kalau mereka sudah melewati Bantu Raja untuk itu mereka harus kembali berjalan ke hulu, setelah kembali mereka sampai ke desa Kuripan lagi, begitu seterusnya sampai akhirnya ada pegawai pesirah yang membantu pasukan jepang, melihat daerah yang seharusnya tempat pemukiman penduduk Bantu Raja menjadi hutan berupa pohon besar-besar dan setiap pohon terlihat gembok yang biasanya dipasang pada pintu rumah.

Penduduk desa Baturaja percaya puyang Naneng selalu datang membantu keturunannya(penduduk desa baturaja) setiap ada bahaya yang mengancam, pasukan jepang tidak bisa menemukan desa baturaja karena pandangan mata mereka melihat rumah penduduk sebagai pohon sehingga mereka hanya merasa melewati hutan saja.

Bahkan dulunya angkong yang melewati desa Baturaja, harus memukul gong kalau tidak akan ada kerusakan pada angkong tersebut, entah sapinya ngamuk atau rodanya patah

Pateh Kepur
Pada sistem pemerintahan marga, kepala desa disebut keriye. walaupun sebenarnya Pateh kepur bukan penduduk asli, Pateh kepur disebut-sebut sebagai keriye pertama yang memerintah di desa baturaja, salah satu tempat bekarang yang banyak ditunggu adalah Lubuk Kepur karena paling lama keringnya dan banyak ikannya, selain itu nama Pateh Kepur sekarang menjadi nama jalan utama yang melewati desa baturaja

Dayang Rindu
Legenda Dayang Rindu sudah menjadi milik rakyat Muara Enim, sedikit yang tahu bahwa Dayang Rindu berasal dari desa Baturaja bahkan orang baturaja sendiri, karena setelah dinikahi Rie Carang pemuda dari desa Banuayu mereka menetap di daerah sekitar batangari Niru, bahkan pabrik kertas PT. Tanjung Enim Lestari sebagian didirikan diatas tanah milik keturunan Dayang Rindu, ceritanya justru berkembang didaerah Rambang Niru(Tanjung Raman, Simpang Niru dan sekitarnya) sebagai tempat tinggalnya setelah pertarungan dua pemuda yang memperebutkan dirinya di tempat asalnya desa Baturaja.

* pesirah = kepala pemerintahan marga
* angkong = alat angkutan seperti pedati yang ditarik sapi