Sebenarnya saya bukan termasuk orang yang suka merayakan malam pergantian tahun, tapi ada satu malam pergantian tahun yang tidak bisa saya lupakan, yaitu pergantian tahun 1996 ke 1997, karena saat itu saya sedang menunggu kebun durian rame bersama Bakrin.
Yang dimaksud rame adalah pohon buah yang ditanam oleh orang tua, kakek atau puyang yang sudah meninggal sehingga kepemilikannya bersama-sama satu keturunan, dalam kasus ini kebun durian tersebut milik A. Sahib kakeknya Bakrin, pembagiannya diatur semua anak A. Sahib mendapat giliran menunggu kebun tersebut, sedangkan jatah wak Kamran yang tinggal di Muara Enim diantar.
Berangkat sore hari menggunakan perahu, karena kebun tersebut berada di seberang kampung masuk wilayah Pangkalan Babat, menurut dugaan saya, puluhan tahun yang lalu kebun tersebut mungkin berada dalam wilayah baturaja namun karena aliran sungai lematang selalu berubah hingga membela desa Baturaja, berdasarkan fakta adanya lematang putus didekat kebun durian tersebut dan banyaknya kebun orang baturaja disekitarnya.
Malamnya kami berdua dengan ditemani radio kecil, mulai memungut satu persatu durian yang jatuh dari pohonnya, mengikuti suara yang ditimbulkan saat buah durian yang jatuh menghantam tanah, sesekali membuka durian untuk dimakan sebanyak kami mau, tapi semakin malam mulai malas memunguti durian yang jatuh, selain karena saat itu memang lagi hujan, suasana kebun juga semakin menyeramkan, akhirnya setelah kenyang dan mengantuk kamipun tidur.
Dini hari saya dibangunkan Bakrin, karena dia baru saja melihat sepasang mata yang bersinar terkena sorotan lampu senter, saya langsung teringat cerita tentang Raden sang manusia harimau yang senang makan durian, kami hanya diam di dalam sudung tanpa tahu apa yang harus dilakukan, saat binatang tersebut agak mendekat sudung, kami mulai tenang karena walaupun tidak kelihatan jelas, tapi kami tahu kalau itu bukan harimau atau binatang buas lainnya melainkan napo atau kijang.
Keesokan pagi, setelah mengumpulkan semua durian jatuh yang belum sempat kami ambil semalam, kami pulang dengan membawa satu perahu durian, dan saya tidak menyangka setelah menghabiskan durian semalaman, saya masih diberi lagi satu ambung durian.
Memang kami tidak punya durian rame, jadi mendapat durian gratis adalah anugerah. Selain ikut dengan Bakrin menunggu durian kakeknya yang masih saudara nyai saya, saya juga pernah menunggu kebun durian milik saudara nyai di Gunung Raja, namun karena waktu itu saya masih kecil, saya cuma tidur sehingga tidak ada cerita yang seru selain makan durian gratis tentu saja.
Yang dimaksud rame adalah pohon buah yang ditanam oleh orang tua, kakek atau puyang yang sudah meninggal sehingga kepemilikannya bersama-sama satu keturunan, dalam kasus ini kebun durian tersebut milik A. Sahib kakeknya Bakrin, pembagiannya diatur semua anak A. Sahib mendapat giliran menunggu kebun tersebut, sedangkan jatah wak Kamran yang tinggal di Muara Enim diantar.
Berangkat sore hari menggunakan perahu, karena kebun tersebut berada di seberang kampung masuk wilayah Pangkalan Babat, menurut dugaan saya, puluhan tahun yang lalu kebun tersebut mungkin berada dalam wilayah baturaja namun karena aliran sungai lematang selalu berubah hingga membela desa Baturaja, berdasarkan fakta adanya lematang putus didekat kebun durian tersebut dan banyaknya kebun orang baturaja disekitarnya.
Malamnya kami berdua dengan ditemani radio kecil, mulai memungut satu persatu durian yang jatuh dari pohonnya, mengikuti suara yang ditimbulkan saat buah durian yang jatuh menghantam tanah, sesekali membuka durian untuk dimakan sebanyak kami mau, tapi semakin malam mulai malas memunguti durian yang jatuh, selain karena saat itu memang lagi hujan, suasana kebun juga semakin menyeramkan, akhirnya setelah kenyang dan mengantuk kamipun tidur.
Dini hari saya dibangunkan Bakrin, karena dia baru saja melihat sepasang mata yang bersinar terkena sorotan lampu senter, saya langsung teringat cerita tentang Raden sang manusia harimau yang senang makan durian, kami hanya diam di dalam sudung tanpa tahu apa yang harus dilakukan, saat binatang tersebut agak mendekat sudung, kami mulai tenang karena walaupun tidak kelihatan jelas, tapi kami tahu kalau itu bukan harimau atau binatang buas lainnya melainkan napo atau kijang.
Keesokan pagi, setelah mengumpulkan semua durian jatuh yang belum sempat kami ambil semalam, kami pulang dengan membawa satu perahu durian, dan saya tidak menyangka setelah menghabiskan durian semalaman, saya masih diberi lagi satu ambung durian.
Memang kami tidak punya durian rame, jadi mendapat durian gratis adalah anugerah. Selain ikut dengan Bakrin menunggu durian kakeknya yang masih saudara nyai saya, saya juga pernah menunggu kebun durian milik saudara nyai di Gunung Raja, namun karena waktu itu saya masih kecil, saya cuma tidur sehingga tidak ada cerita yang seru selain makan durian gratis tentu saja.
No comments:
Post a Comment